Gratifikasi adalah salah satu kata yang sering didengar, tetapi jarang diketahui artinya dengan jelas. Meskipun sering disamakan dengan pemerasan, pungutan liar (pungli), dan suap, sebenarnya tiga kata tersebut memiliki arti yang berbeda.
Gratifikasi sendiri sebenarnya merupakan kegiatan yang dibatasi oleh undang-undang karena, meskipun berbeda dari suap, tetapi bisa dikategorikan sebagai suap berdasarkan undang-undang.
Apa Itu Gratifikasi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi memiliki arti sebagai uang hadiah yang diberikan kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Dalam situs Kementerian Keuangan, gratifikasi diartikan sebagai pemberian.
Dalam arti yang lebih luas, gratifikasi mencakup pemberian uang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Semua pemberian yang diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta menggunakan sarana elektronik atau secara langsung, termasuk dalam kategori gratifikasi.
Perbedaan Antara Gratifikasi, Suap, dan Pungli
Apa yang membedakan gratifikasi dari suap dan pungli? Gratifikasi diberikan kepada pihak pemberi layanan tanpa adanya penawaran. Sebaliknya, dalam praktik suap dan pungli, terdapat penawaran yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Dalam suap, pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada pemberi layanan, sedangkan dalam pungli, pemberi layanan yang secara aktif menawarkan imbalan tertentu kepada pengguna layanan untuk mempercepat tercapainya tujuan pengguna.
Gratifikasi memang berbeda dari suap dan pungli. Namun, dalam kasus suap dan pemerasan, gratifikasi seringkali dapat termasuk dalam suap karena seringkali dimaksudkan agar pemberi layanan tersentuh hatinya dan akhirnya mempermudah tujuan pengguna jasa.
Dasar Hukum dan Ancaman Hukuman
Dasar hukum yang menyatakan bahwa gratifikasi dapat termasuk dalam suap terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 Pasal 12B. Pasal ini menyebutkan bahwa tindakan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan suatu jabatan dan bertentangan dengan tugas pokok fungsinya.
Namun, pasal selanjutnya, yaitu Pasal 12C ayat 1, menyatakan bahwa gratifikasi dapat terlepas dari kategori suap apabila penerima gratifikasi melaporkan penerimaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketika tindakan gratifikasi dikategorikan sebagai suap, ancaman hukuman yang dapat dikenakan adalah penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama seumur hidup. Selain itu, penerima gratifikasi juga dapat terkena denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Pentingnya Kewaspadaan dan Pelaporan
Mengingat implikasi hukum yang serius, para pegawai negeri atau penyelenggara negara perlu berhati-hati ketika menerima pemberian. Penting untuk diingat bahwa melaporkan penerimaan gratifikasi dapat mencegahnya termasuk dalam kasus suap.
Dengan melaporkan gratifikasi kepada KPK, penerima dapat memastikan bahwa tindakan yang diambil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kesimpulan
Gratifikasi merupakan pemberian yang berbeda dari suap dan pungli. Meskipun gratifikasi diberikan tanpa adanya penawaran, dalam beberapa kasus, gratifikasi dapat masuk dalam kategori suap karena maksudnya yang bertujuan untuk memperlancar tercapainya tujuan pengguna jasa.
Oleh karena itu, penting bagi para pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk berhati-hati dan melaporkan penerimaan gratifikasi. Undang-undang yang mengatur gratifikasi dan suap memberikan dasar hukum yang jelas, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut dapat menghadapi ancaman hukuman yang serius.
Dalam konteks yang lebih luas, penting bagi masyarakat untuk memahami perbedaan antara gratifikasi, suap, dan pungli. Dengan pemahaman yang benar, kita dapat ikut berperan dalam mencegah praktik korupsi dan membangun lingkungan yang lebih bermoral dan transparan.