Berita terbaru tentang pengakuan Daniel Mananta telah menciptakan kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Aktor dan presenter terkenal ini mengungkapkan bahwa ada sebuah sekolah dasar internasional elit di daerah Jabodetabek yang diduga mendukung gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).
Dalam sebuah podcast yang ia bagikan bersama tokoh agama terkemuka Abi Quraish Shihab, Mananta menceritakan kunjungannya ke sekolah tersebut dalam mencari institusi pendidikan yang cocok untuk anaknya yang berusia 10 tahun.
Mengungkap Apa Itu “Agenda Woke” dan Toilet Gender-Netral
Menurut Daniel Mananta, sekolah yang ia kunjungi memiliki reputasi internasional dan tampak sangat terbuka terhadap apa yang ia sebut sebagai “Agenda Woke”. Ia menjelaskan bahwa Agenda Woke adalah serangkaian agenda atau gerakan yang bertujuan untuk memperkenalkan gagasan bahwa “identitas Anda adalah apa yang Anda rasakan”.
Dalam konteks ini, jika seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang perempuan, maka identitasnya adalah sebagai seorang perempuan. Yang mengejutkan Mananta selama kunjungannya adalah adanya toilet gender-netral di sekolah tersebut.
Ia pun menanyakan hal ini kepada resepsionis, yang mengkonfirmasi bahwa sekolah tersebut memperbolehkan para siswa untuk berekspresi dengan bebas, tanpa batasan.
Penyesalan dan Keputusan Mananta
Daniel Mananta mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam terhadap pengaruh yang mungkin dimiliki sekolah tersebut terhadap anak-anak. Ia mengaku menyesal telah membawa anaknya ke sana dan menyatakan bahwa ia tidak lagi mempertimbangkan sekolah tersebut sebagai pilihan.
Mananta memutuskan untuk tidak memaparkan anaknya pada lingkungan yang menurutnya mendukung Agenda Woke dan gerakan LGBT.
Memahami Konsep Gender-Netral
Untuk memahami istilah “gender-netral” dengan baik, kita perlu menggali konsep individu non-biner atau gender-netral. Non-biner atau gender-netral adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang tidak secara eksklusif mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan.
Mereka menentukan identitas gender mereka sendiri dan pengalaman mereka, di luar konsep biner tradisional yang umum diadopsi saat ini. Penting untuk dicatat bahwa non-biner berbeda dari orientasi seksual seseorang atau jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir.
Namun, dalam praktiknya, istilah ini seringkali tumpang tindih dengan istilah lain seperti agender, androgini, atau genderqueer. Hal ini bisa membingungkan ketika mencoba membedakan dan memahami penerapannya.
Memahami Identitas dalam Spektrum
Bagi sebagian besar orang, identitas gender mereka sejalan dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir. Identitas gender ini umumnya ditentukan oleh faktor fisik seperti organ reproduksi eksternal, yang mengkategorikan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Konsep ini dikenal sebagai biner gender.
Namun, penting untuk diingat bahwa identitas gender seseorang adalah pandangan internal tentang diri mereka sendiri. Bagi sebagian orang, identitas gender mereka sejalan dengan jenis kelamin yang ditetapkan. Orang sering mempersepsikan identitas gender sebagai biner, terdiri dari laki-laki atau perempuan.
Ada juga istilah “cisgender”, yang mengacu pada individu yang identitas gender mereka sejalan dengan jenis kelamin yang ditetapkan. Sebagai contoh, seseorang dengan anatomi laki-laki dan identitas gender laki-laki disebut sebagai cisgender laki-laki.
Mengenal Identitas Non-Biner
Sebaliknya, konsep gender-netral atau non-biner, yang mendapatkan perhatian melalui kasus terakhir di Universitas HasanMaarif di Indonesia, adalah ketika seseorang tidak mengidentifikasi dirinya secara eksklusif sebagai laki-laki atau perempuan.
Orang-orang non-biner mungkin merasa bahwa identitas gender mereka berada di luar spektrum biner tradisional. Beberapa mungkin mengidentifikasi diri sebagai gender-netral, tanpa merasa terikat dengan kategori laki-laki atau perempuan.
Orang lain mungkin mengidentifikasi diri sebagai gabungan dari laki-laki dan perempuan, atau mengalami identitas gender yang berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Respon Terhadap Kontroversi
Pernyataan Daniel Mananta tentang dukungan sekolah dasar internasional terhadap gerakan LGBT dan Agenda Woke telah memicu respons yang beragam dari masyarakat. Beberapa orang mendukung pandangan dan keputusan Mananta, merasa bahwa sekolah-sekolah harus memberikan pengajaran yang sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini oleh orang tua.
Mereka menganggap bahwa dukungan terhadap gerakan LGBT adalah suatu bentuk “pemaksaan” ideologi yang tidak sesuai dengan keyakinan agama atau budaya mereka.
Di sisi lain, ada juga orang-orang yang berpendapat bahwa pendidikan inklusif dan penghargaan terhadap keragaman adalah penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan merangkul semua siswa.
Mereka berargumen bahwa pengenalan konsep gender-netral dan dukungan terhadap gerakan LGBT adalah langkah penting dalam mendorong toleransi, pengertian, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Pernyataan Daniel Mananta tentang dukungan sekolah dasar internasional terhadap gerakan LGBT telah memicu kontroversi di masyarakat Indonesia.
Sementara beberapa orang mendukung pandangan dan keputusan Mananta, yang merasa bahwa sekolah-sekolah harus mengikuti nilai-nilai yang diyakini oleh orang tua, ada juga mereka yang melihat pentingnya pendidikan inklusif dan penghargaan terhadap keragaman.
Kontroversi ini mencerminkan perbedaan pendapat yang ada di masyarakat terkait isu-isu LGBT dan pengenalan konsep gender-netral dalam konteks pendidikan.
Baca Juga :
Mengenal Konsep dan Arti Kata “Slow Living”, Mengadopsi Gaya Hidup yang Bermakna?
Menjelajahi Arti Kata “Whatever” dan Ungkapan Bahasa Inggris Lainnya yang Populer